Selasa, 17 November 2009

Korelasi Penguatan Minyak dan Emas



Titik tertinggi level harga kontrak minyak berjangka tercapai di bulan Juni 2008 di level US$147.25 per barrel (1 barrel=158.987295 liter), sedangkan emas kontrak berjangka di bulan tersebut berada di level US$967.40 per ounce (1 ounce=31.103gram).

Secara umum perkembangan harga minyak sangat dipengaruhi laju inflasi yang sangat mempengaruhi laju ekonomi; seperti yang terjadi di Amerika sebagai salah satu negara konsumen minyak terbesar di dunia. Amerika membutuhkan hampir 25% dari hasil minyak dunia. Di lain sisi penguasaan asset minyak mentah Amerika hanya berada pada level 2%. Oleh sebab itu dengan tingkat kebutuhan konsumsi minyak bagi rumah tangga, pabrik dan kebutuhan militer yang besar menyebabkan tingkat ekonomi Amerika sangat rentan dengan perkembangan harga minyak mentah. Efek negative yang diterima Amerika dibandingkan dengan negara lain akan lebih besar ketika pasokan minyak yang berkurang seiiring dengan melonjaknya harga minyak 

Menurut artikel zeal LLC dari tahun 1965 ke 1994 terdapat korelasi yang cukup kuat antara minyak dan emas yang berada pada +0.879. Namun pada tahun 1985 sampai 2000 level korelasi tersebut terlihat memudar ke level -0.1333. Dan sejak tahun 2000 yang lalu, nilai korelasi tersebut menguat ke level +0.715. 
Harga minyak mulai meningkat dari level US$20 ke US$50an per barrel pada tahun 2004. Semenjak itu harga minyak mentah terus pada tren penguatan sampai menyentuh level tertingginya di tahun 2008 pada level US$147.25 per barrel. Hal yang sama dengan pergerakan emas yang memulai range harga di kisaran US$300 per ounce di tahun 2004 yang kemudian pada tahun-tahun berikutnya melambung menyentuh kisaran level US$1000 per ounce. 
Seiiring dengan kekhawatiran akan kembali melambungnya harga minyak mentah, kemudian OPEC sempat menetapkan harga minyak untuk terstandarkan di level US$70 per barrel. Namun level tersebut masih saja tertembus di tengah semakin meningkatnya jumlah kebutuhan dan permintaan minyak. Produksi minyak mentah menurun ditengah krisis geopolitik dan keamanan yang terjadi di Nigeria dan Iran sebagai pemasok minyak. 
Beberapa analisa menyebutkan kemungkinan besar bagi minyak untuk terus menguat level ke psikologis di US$100 per barrel. Ancaman akan hambatan tingkat produksi dimusim dingin akhir tahun masih membuat kemungkinan akan terhambatnya tingkat produksi minyak mentah Amerika. 
Di lain pihak kekuatan dollar Amerika semakin melemah seiiring dengan tekanan krisis financial, defisit keuangan, dan tingginya tingkat pengangguran yang mencapai 10.2% sebagai level tertinggi dalam 26 tahun ini. Pola pelemahan dollar ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara produsen minyak mentah. Arab Saudi dan Kuwait mulai memilih untuk mendiversifikasi perdagangan minyak dalam bentuk euro daripada dollar Amerika dengan pertimbangan kestabilan dan resiko aset.
Dengan berlanjutnya pelemahan dollar maka tidak menutup kemungkinan bagi Cina, Jepang dan beberapa negara asia lainnya untuk mendiversifikasi aset ke dalam bentuk euro dan emas yang dinilai mempunyai ketahanan akan inflasi. Sebuah factor penguat kemungkinan emas akan kembali meningkat.
Fakta yang ada memperlihatkan minyak mempunyai korelasi yang kuat dengan harga emas dimana minyak mempunyai efek yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pasar keuangan. Di lain pihak emas menjadi “safe haven” atau asset yang dinilai tahan akan tekanan inflasi dan pelemahan dollar yang disebabkan oleh meningkatnya harga minyak.
Kenaikan yang terjadi level US$81.97 per barrel masih mempunyai peluang untuk kembali tertembus dengan estimasi target US$85-89 per barrel bila dalam beberapa hari ke depan data produksi minyak memburuk. Sedangkan level harga emas yang menyentuh US$1.130an per ounce mempunyai peluang terus menguat ke level US$1.250 per ounce.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar