Selasa, 24 November 2009

Peluang Komoditi dalam Pelemahan Dollar


Nilai tukar mata uang dollar Amerika terus bergerak melemah dalam jangka waktu beberapa tahun ini. Tren pelemahan berlanjut setelah kejatuhan pasar finansial Oktober 2008. Efeknya beberapa perusahaan raksasa Amerika mengalami kebangkrutan yang berimbas pada membengkaknya pengangguran.

Sektor keuangan juga tidak luput dari imbas krisis tersebut. Dow Jones Amerika tertekan ke level terendah di 6.469.95, sedangkan S&P 500 tertekan ke level 666.79, begitu juga dengan Nasdaq yang tertekan ke level 1.265.95. 
Demikian juga dengan permasalahan akan membengkaknya defisit perdagangan Amerika yang menjadi momok tersendiri. Laporan terakhir mencatatkan defisit perdagangan kembali membengkak ke level terburuknya di level $176.36 milyar atau membengkak $20 milyar dari data terakhir. Data tersebut lebih buruk dari perkiraan analis keuangan yang sebelumnya memprediksi defisit hanya akan berada di level $175 milyar. 
Untuk tetap mempertahankan dan menjaga agar sector riil tetap bergerak maka US Fed (Bank Sentral Amerika) mengambil jalan untuk menurunkan tingkat suku bunganya. Hal ini dilakukan agar tidak banyak dana masyarakat yang dialihkan ke sektor keuangan untuk menghindari ketidaksiapan dana masyarakat bila terjadi krisis keuangan. Suku bunga Amerika dalam beberapa bulan ini dipertahankan di level terendahnya 0-0.25%. Keputusan yang diambil oleh pihak US Fed tersebut dilakukan juga ditengah belum kuatnya kepastian krisis keuangan ini akan berakhir. Hal ini secara langsung melemahkan kekuatan dollar terhadap mata uang utama lainnya sebagai efek dari pemindahan investasi asset berdenominasi dollar ke instrument keuangan ataupun asset keuangan yang menawarkan imbal balik yang lebih tinggi.
Yang terjadi di pasar adalah semakin maraknya “US dollar carry trade” atau aksi peminjaman dollar Amerika dengan beban suku bunga rendah. Kemudian menempatkan investasi keuangan di mata uang atau komoditi lain yang menawarkan tingkat imbal balik yang jauh lebih tinggi. Saat ini yang menjadi target penempatan asset keuangan adalah di area Asia Pasific dimana kebanyakan negara menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dari Amerika. Indonesia dengan 6.5% dan Australia dengan 3.5% menjadikan selisih yang cukup besar dibandingkan 0.25%. 
Sebagai contoh investor dapat meminjam dollar Amerika kemudian menempatkan asset di instrument investasi Indonesia. Dengan perbedaan selisih 6-7% dengan suku bunga Amerika serta dengan tingkat pengembalian obligasi pemerintah Indonesia yang ditawarkan 9% menjadi sebuah ketertarikan tersendiri. 

Peluang menguatnya komoditi 
Pilihan untuk mempertahankan pelemahan dollar Amerika nampaknya sebuah pilihan yang diambil oleh Amerika demi menjaga tetap tumbuhnya sector ekspor. Terlebih ancaman inflasi bukan merupakan sebuah focus pada saat pemulihan ekonomi.
Dalam tren pelemahan dollar saat ini, investor tetap mempunyai peluang dalam memanfaatkan euphoria yang ada. Aksi pemindahan asset dengan ekspektasi imbal balik yang lebih tinggi dan asset yang dinilai lebih aman dari tekanan inflasi ini menjadi pemicu dari penguatan sector komoditi seperti emas, minyak, dan perak. Seperti pada artikel penulis minggu lalu tentang penguatan emas yang diprediksi menguat ke level US$1.139.50 per ounce. Pada minggu lalu emas berjangka ditutup di level US$1.152.50 per ounce. Tren pergerakan emas ini diestimasikan bertarget di US$1.250.40 per ounce. Kemungkinan koreksi akan berada di level US$1.105.40 per ounce. Sama halnya dengan minyak yang masih mempunyai kekuatan untuk kembali menembus level US$80 per barrel. Level US$78 per barrel masih menjadi range perdagangan yang kuat. Namun bila level psikologis US$80 per barrel tertembus, maka akan semakin membuka peluang penguatan.

Selasa, 17 November 2009

Korelasi Penguatan Minyak dan Emas



Titik tertinggi level harga kontrak minyak berjangka tercapai di bulan Juni 2008 di level US$147.25 per barrel (1 barrel=158.987295 liter), sedangkan emas kontrak berjangka di bulan tersebut berada di level US$967.40 per ounce (1 ounce=31.103gram).

Secara umum perkembangan harga minyak sangat dipengaruhi laju inflasi yang sangat mempengaruhi laju ekonomi; seperti yang terjadi di Amerika sebagai salah satu negara konsumen minyak terbesar di dunia. Amerika membutuhkan hampir 25% dari hasil minyak dunia. Di lain sisi penguasaan asset minyak mentah Amerika hanya berada pada level 2%. Oleh sebab itu dengan tingkat kebutuhan konsumsi minyak bagi rumah tangga, pabrik dan kebutuhan militer yang besar menyebabkan tingkat ekonomi Amerika sangat rentan dengan perkembangan harga minyak mentah. Efek negative yang diterima Amerika dibandingkan dengan negara lain akan lebih besar ketika pasokan minyak yang berkurang seiiring dengan melonjaknya harga minyak 

Menurut artikel zeal LLC dari tahun 1965 ke 1994 terdapat korelasi yang cukup kuat antara minyak dan emas yang berada pada +0.879. Namun pada tahun 1985 sampai 2000 level korelasi tersebut terlihat memudar ke level -0.1333. Dan sejak tahun 2000 yang lalu, nilai korelasi tersebut menguat ke level +0.715. 
Harga minyak mulai meningkat dari level US$20 ke US$50an per barrel pada tahun 2004. Semenjak itu harga minyak mentah terus pada tren penguatan sampai menyentuh level tertingginya di tahun 2008 pada level US$147.25 per barrel. Hal yang sama dengan pergerakan emas yang memulai range harga di kisaran US$300 per ounce di tahun 2004 yang kemudian pada tahun-tahun berikutnya melambung menyentuh kisaran level US$1000 per ounce. 
Seiiring dengan kekhawatiran akan kembali melambungnya harga minyak mentah, kemudian OPEC sempat menetapkan harga minyak untuk terstandarkan di level US$70 per barrel. Namun level tersebut masih saja tertembus di tengah semakin meningkatnya jumlah kebutuhan dan permintaan minyak. Produksi minyak mentah menurun ditengah krisis geopolitik dan keamanan yang terjadi di Nigeria dan Iran sebagai pemasok minyak. 
Beberapa analisa menyebutkan kemungkinan besar bagi minyak untuk terus menguat level ke psikologis di US$100 per barrel. Ancaman akan hambatan tingkat produksi dimusim dingin akhir tahun masih membuat kemungkinan akan terhambatnya tingkat produksi minyak mentah Amerika. 
Di lain pihak kekuatan dollar Amerika semakin melemah seiiring dengan tekanan krisis financial, defisit keuangan, dan tingginya tingkat pengangguran yang mencapai 10.2% sebagai level tertinggi dalam 26 tahun ini. Pola pelemahan dollar ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara produsen minyak mentah. Arab Saudi dan Kuwait mulai memilih untuk mendiversifikasi perdagangan minyak dalam bentuk euro daripada dollar Amerika dengan pertimbangan kestabilan dan resiko aset.
Dengan berlanjutnya pelemahan dollar maka tidak menutup kemungkinan bagi Cina, Jepang dan beberapa negara asia lainnya untuk mendiversifikasi aset ke dalam bentuk euro dan emas yang dinilai mempunyai ketahanan akan inflasi. Sebuah factor penguat kemungkinan emas akan kembali meningkat.
Fakta yang ada memperlihatkan minyak mempunyai korelasi yang kuat dengan harga emas dimana minyak mempunyai efek yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pasar keuangan. Di lain pihak emas menjadi “safe haven” atau asset yang dinilai tahan akan tekanan inflasi dan pelemahan dollar yang disebabkan oleh meningkatnya harga minyak.
Kenaikan yang terjadi level US$81.97 per barrel masih mempunyai peluang untuk kembali tertembus dengan estimasi target US$85-89 per barrel bila dalam beberapa hari ke depan data produksi minyak memburuk. Sedangkan level harga emas yang menyentuh US$1.130an per ounce mempunyai peluang terus menguat ke level US$1.250 per ounce.

Selasa, 10 November 2009

Ancang-ancang Meroketnya Emas



Dalam beberapa bulan ini rally harga emas yang didukung oleh fakta tekanan data ekonomi yang seolah-oleh mengkonfirmasi kenaikan harga emas. Hal ini jelas merupakan faktor positif dalam kemungkinan kenaikan harga emas dalam jangka waktu menengah dan panjang.
Pada sesi perdagangan Jumat, 6 November yang lalu level harga kontrak berjangka emas menembus level tertinggi sepanjang masa dengan menyentuh harga di US$1.100.70 per ounce (1 ounce=31.103gram).

Level kontrak harga emas berjangka pada tahun ini telah mengalami kenaikan 37.26% dari level terendahnya awal tahun di US$ 801.90 per ounce. Grafik pergerakan emas terlihat trend kenaikan yang cukup kuat pada tahun ini di tengah ketidakpastian pasar akan pemulihan ekonomi sejak krisis financial tahun lalu. 

Rekor harga emas yang tercapai Jumat lalu tidak lain adalah factor aksi borong pasar akan respon data ekonomi yang ada. Respon terhadap pelemahan nilai tukar dollar yang menjadi factor utama dimana investor cenderung mencari sarana investasi yang dinilai aman dari gejolak laju inflasi. Inflasi sendiri dikhawatirkan akan mulai meningkat pada kuartalan pertama 2010. 
Dirilisnya data sektor tenaga kerja Amerika Jumat lalu dinilai telah menembus level kewajaran. Tingkat pengangguran di Amerika membengkak ke level tertinggi selama 26 tahun sebesar 9.8% pada September lalu dan rilisan data October berada pada level kronis 10.2% pada akhir tahun ini. Hal ini menjadi acuan penilaian pasar akan kegagalan pemerintahan Obama untuk meregulasi dan mengefektifkan dana stimulus yang ada. Sebuah sinyal akan masih rentannya pemulihan ekonomi Amerika.
Suku bunga Amerika yang dipertahankan pada level 0-0,25% terlihat sebagai pola kebijakan Bank Sentral Amerika yang masih hati-hati dalam menyatakan ketegasan krisis finansial telah berakhir atau belum. Hal ini secara langsung melemahkan kekuatan dollar terhadap mata uang utama lainnya sebagai efek dari pemindahan investasi asset berdenominasi dollar ke instrument keuangan ataupun asset keuangan yang menawarkan imbal balik yang lebih tinggi.
Selain itu tembusnya level tertinggi emas juga dipicu oleh aksi bank sentral India yang membeli asset 200 ton emas dari IMF (International Monetary Fund) yang merupakan sebagian aksi dari rencana penjualan 403.3 ton emas IMF pada akhir tahun ini. Aksi Bank Sentral ini adalah kebijakan untuk mendiversifikasi asetnya ke bentuk lain selain dollar yang dinilai rentan akan pelemahan dan tekanan inflasi. Lain halnya dengan emas yang bergerak searah dengan laju inflasi. 
Langkah yang diambil oleh India untuk mengubah portofolio asset cadangan devisanya dari dollar AS ke emas menjadikan India sebagai negara nomer urut kesembilan dari 10 besar negara pemegang emas terbesar sebagai cadangan keuangannya di dunia. Aksi India ini diprediksi akan diikuti oleh Chinna, Rusia dan beberapa negara Asia lainnya.
Kenaikan level harga emas yang menembus di US$1.100.70 per ounce masih akan membuka peluang yang cukup untuk kembali mencoba kembali menyentuh harga tertinggi baru. Dengan memperhatikan aksi perubahan asset keuangan dari dollar ke emas oleh negara-negara besar beberapa waktu ini serta tekanan yang dihadapi oleh dollar Amerika maka emas masih mempunyai peluang jangka menengah dan panjang untuk bullish / menguat. Tren pergerakan emas beberapa minggu ini diestimasikan bertarget di US$1.139.50 per ounce. Selain itu yang perlu diperhatikan pasar adalah level harga komoditi (emas, minyak, perak, dll) yang juga mempunyai kecenderungan menguat pada akhir tahun yang merupakan efek berantai dari keterbatasan produksi minyak akibat musim dingin November-Desember.

Senin, 02 November 2009

Arah Kekuatan Dollar Penghujung Tahun



“The world is changing, and the dollar is losing its status. If you have a 5- year or 10-year view about the dollar, it should be for a weaker currency.” Kurang lebih sekitar 58 hari lagi penghujung tahun 2009 akan segera dilewati. Bagaimana dollar Amerika akan menutup buku pada tahun ini.
Dollar, mata uang yang telah menjadi currency global dalam beberapa dekade terlihat sempoyongan menghadapi arus pelemahan sektor financial dan kekuatan mata uang lainnya.

Sebesar 38 persen dari asset keuangan Amerika mengalami penurunan dari tingkat 63 persen tingkat rata-ratanya sejak tahun 1999. Kekuatan mata uang dollar Amerikapun terlihat melemah secara signifikan sejak kebijakan keuangan yang diambil oleh pemerintah Amerika untuk menjual obligasinya guna membiayai deficit keuangan yang terus-menerus membengkak sebesar 1.4 milyar dollar Amerika pada anggaran 2009 ini. 

Analisa Standard and Poors akan kemungkinan penurunan tingkat hutang dan defisit dari keuangan Amerika nampaknya tidak mengubah sentiment negative akan dollar. Fakta memperlihatkan beberapa negara mulai memindahkan cadangan devisanya dalam bentuk selain dollar Amerika. Di awal tahun 2009 sekitar 47,5 persen asset dari Bank Sentral Rusia telah didasarkan pada Euro, sedangkan lainnya terdiri atas 41,5 persen berbasis pada dollar Amerika. Situasi ini sama sekali berbeda pada awal tahun sebelumnya dimana 47 persen dari investasi yang dicadangkan dalam dolar AS, sementara investasi berada 42 persen. Selebihnya pemerintah Rusia menempatkan cadangan keuangannya dalam bentuk poundsterling Inggris, yen Jepang dan Swiss Franc. Kebijakan tersebut dimulai juga pada awal Oktober 2008 lalu ketika krisis finansial mulai menggoncangkan sektor financial yang bersumber dari kegagalan sector kredit serta dipicu oleh mulai meningkatnya harga minyak dari 50 dollar per barrel hingga menyentuh harga tertingginya di 147.37 dollar per barrel.
Poundsterling juga sempat menjadi currency kedua yang diminati selain dollar Amerika. Namun hal kekuatan poundsterling tidak dapat bertahan lama sejak beberapa kebijakan luar negeri Inggris yang kurang begitu berdampak baik bagi sentiment pasar. Tidak menutup kemungkinan hal ini dapat juga terjadi pada dollar Amerika. Faktor dari semakin membengkaknya defisit keuangan pada masa pemerintahan Bush dan kegagalan kredit yang terus menerus melemahkan posisi perekonomian Amerika. Hal ini juga masih nampak berpengaruh kuat pada masa pemerintahan Obama ini. Berbagai argument dan analisa akan kemungkinan mata uang alternatif yang dinilai cukup stabil yang menggantikan dollar Amerikapun kian muncul di permukaan. 
Fokus pasar tertuju pada outlook suku bunga bank sentral Amerika setelah dalam beberapa pertemuannya the Fed mempertahankan suku bunganya pada level 0.25 persen atau mendekati level nol persen. Terlebih setelah traumatic pasar setelah kegagalan kredit yang sempat membawa kerontokan dari Wallstreet dan mempailitkan perusahaan-perusahaan raksasa Amerika.
Walaupun beberapa pejabat bank sentral Amerika menyatakan keoptimisan akan kembali pulihnya ekonomi Amerika, nampaknya pasar belum begitu menaruh kepercayaan di asset berbasis dollar Amerika. Indikasi telah ekonomi Amerika dari resesi terdalam sejak great depression tahun 1930-an yang dibuktikan dengan meningkatnya serangkaian data fundamental ekonomi Amerika nampaknya tidak cukup untuk meyakinkan investor terhadap outlook suku bunga the Fed. Dari beberapa pertemuan terakhir juga the FED juga tidak menampilkan pernyataan yang kuat akan pulihnya ekonomi Negara paman Sam tersebut. 
Rilisan beberapa data ekonomi Amerika terlihat membaik, namun data yang masih dalam level yang mengkhawatirkan adalah sector tenaga kerja; tingkat pengangguran di Amerika membengkak ke level tertinggi selama 26 tahun sebesar 9.8% dan diperkirakan akan menyentuh angka 10% pada akhir tahun ini. Membengkaknya pengangguran tidak lain adalah efek rantai dari banyak perusahaan yang mengalami kegagalan akibat krisis kredit yang lampau. Data ini merupakan salah satu data sensitif yang akan menjadi tolak ukur penilaian pasar terhadap kekuatan ekonomi Amerika.

Dollar versus risk appetite
Akibat dari keputusan FED yang tetap mempertahankan level suku bunganya di level rendah tersebut akan semakin memperbesar kemungkinan dari aliran investasi keuangan Amerika yang kemudian dialihkan ke asset-aset atau mata uang yang mempunyai imbal balik yang lebih tinggi. Berkembangnya outlook pemulihan ekonomi global semakin meningkatkan minat investor terhadap perdagangan beresiko. Kembali menguatnya indeks Wall Street yang menguat ditopang oleh optimisme terhadap laporan keuntungan kuartal ketiga perusahaan-perusahaan Amerika menjadi gambaran akan pengalihan dari investasi risk aversion ke risk appetite seperti saham dan komoditi.
Contoh mudah adalah perbedaan imbal hasil Surat Hutang Negara (SUN) domestik Indonesia dan US Treasury yang masih merupakan imbal hasil tertinggi di kawasan Asia. Juga spread US rate dan suku bunga Indonesia misalnya yang berada di atas 5 persen menjadi alasan investor mengalihkan asset keuangannya dari dollar.
Beberapa analisa menggambarkan kemungkinan pelemahan dollar akan mengalami rebound bilamana Fed mulai menghentikan suku bunga yang mendekati 0 persennya. Seperti terlihat pada tahun 1990an, Investor sempat menghindari asset yang berbasis dollar Amerika. Ketika itu dolar Amerika terjungkal melemah ke level terendahnya sejak pasca perang dunia II di 79.75 terhadap Yen di April 19, 1995 di tengah perhatian pasar akan kebijakan FED yang tidak segera menaikkan suku bunga di tengah meningkatnya inflasi saat itu. 
Level harga minyak yang berada di new high 81.48 dollar per barrel menjadi tekanan tersendiri, bahkan dengan emas yang berada di 1070.50 dollar per troy ounce akan menjadi factor penekan terhadap dollar Amer. 
Dan inilah yang akan menjadi tantangan bagi pemerintahan Obama dalam mempertahankan kekuatan ekonomi Amerika pada penghujung tahun ini. Terlebih mengingat kebiasaan pola level harga minyak yang menguat di masa musim dingin akhir tahun yang akikaan berefek rantai bagi kontraksi dollar, maka tidak menutup kemungkinan dollar Amerika akan semakin terpuruk terhadap beberapa mata uang mayor lainnya.